Tuesday, January 13, 2009

Boikot Produk Yahudi?

Apa Perlu Kita Boikot Apapun yang 'Katanya' Produk Yahudi?

Selasa, 06 Januari 2009 10:07

Pertanyaan

Assalamu'alaikum ustadz,
Saat ini kita banyak menemui Boycott Campaign untuk produk-produk yang mendukung Yahudi menjajah tanah Palestina. Memang, bukti-bukti yang ada mengarahkan beberapa produk internasional untuk kita boikot.
Ya, bukti-bukti itu jelas. Sungguh jelas.

Namun di sisi lain, ada juga produk-produk yang dari mulut ke mulut diberitakan mendukung Yahudi. Seperti Unilever misalnya (maaf, saya sulit menggambarkan bila tidak menyebutkan mereknya). Derivasi dari produk ini sudah menguasai pasaran Indonesia. Namun saya belum menemukan bukti-bukti yang jelas mengarahkan perusahaan tersebut benar-benar terlibat mendukung Zionis Yahudi.

Lalu bagaimana saya harus menyikapi ini? Apakah saya harus mempercayai begitu saja apa yang saudara se-Islam saya sarankan? Untuk tidak lagi memakai produk-produk tak jelas buktinya itu? Atau bagaimana? Afwan, saya benar-benar belum menemukan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan ini. Saya harap Ustadz mau memberi penjelasan untuk ini. Jazakumullah.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

--Dian--

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang penerapan strategi pemboikotan produk yahudi di beberapa negeri di timur tengah dengan di Indonesia sangat berbeda. Disana, misalnya di Qatar, fatwa itu datang dari institusi resmi. Ada seorang Dr. yusuf Al-Qaradawi yang jabatannya adalah mufti kerjaan (baca:keemiran). Meski beliau masih berjinsiyah Mesir, namun negera itu memungkinkan dirinya mengangkat mufti orang asing.

Maka seruan seorang mufti kerajaan dengan segala fasilitas yang dimiliki serta akses lewat berbagai macam media semacam TV Channel Al-Jazeera, atau situs www.islamonline.net atau www.islamweb.net dan lainnya, menjadi sangat efektif.

Beda dengan di negeri kita. Selain kita tidak punya ulama yang dihormati oleh semua pihak, urusan boikot produk yahudi ini cenderung lebih menjadi sensasi ketimbang keefetifannya sebagai kekuatan penekan (power for preassure).

Yang terjadi bukan produk yahudi itu mengalami kerugian atau kebangkrutan, malah sesama umat Islam saling mengecam, saling menjelekkan, saling baku sindir dan seterusnya. Sebab yang satu merasa sudah jadi orang paling pahlawan dengan tidak makan di beberapa restoran fasfood terkenal, yang 'katanya' milik yahudi, sementara sekian banyak elemen umat Islam yang lain justru kebingungan sambil bertanya-tanya,"Jadi umat Islam kok susah, ya. Ini haram itu haram. Emang kalau tidak mengharamkan, nggak enak ya?".

Gubrak!!!

Maka boleh jadi ada beberapa hal yang perlu kita kaji bersama dulu sebelum fatwa yang ada di negera lain itu bisa kita terapkan dengan efisien di negeri kita. Dan biasanya kita memang sering kali perlu tahu duduk masalah sebuah fatwa itu kenapa dikeluarkan.

Saya punya contoh menarik yang perlu kita renungkan bersama tentang mengikuti fatwa ulama di timur tengah. Begini, ketika Dr. Yusuf Al-Qaradawi memfatwakan bahwa ucapan tahni'ah dalam kesempatan natal dan hari besar agama lain kepada saudara kita yang nasrani itu boleh atau halal, kita toh tidak menerapkan fatwa itu di negeri kita. Kiyai, ulama, penceramah, ustadz dan berbagai majelis taklim di negeri ini umumnya mengatakan haram hukumnya mengucapkan selamat natal. Padahal Al-Qaradawi membolehkan. Disitu saja sudah tidak konsekuen.

Jadi ternyata dalam mengikuti fatwa ulama dari 'Arab' itu, kita juga masih tebang pilih, masih membeda-bedakan. Kalau kira-kira sesuai dengan selera kita, kita terapkan. Tapi kalau rasanya kok tidak sesuai dengan selera, sepertinya kita tinggalkan.

Lucu dan menggelikan memang kalau melihat tingkah dan kelakuan bangsa kita dalam mengikuti fatwa para ulama dari negeri arab sana.

Beberapa Pertimbangan

Fatwa boikot itu hanya akan efektif kalau disertai dengan beberapa hal, antara lain:

1. Kejelasan merek dagang mana saja yang sudah dipastikan milik perusahaan yahudi. Atau yang saham serta keuntungannya benarnya milik dan diperuntukkan bagi kepentingan yahudi.

Bila tidak, yang terjadi justru penzaliman dan fitnah seperti yang anda sebutkan. Padahal bila suatu perusahaan sudah kena vonis tuduhan milik Yahudi, bisa jadi perusahaan itu akan terkena dampaknya. Atau malah sebaliknya, orang-orang malah jadi tidak terlalu peduli dengan seruan itu, karena ketidak-jelasannya.

Bukankah Islam mengajarkan kita untuk berbuat 'adil? Bukankah keadilan adalah salah satu ciri Islam?

2. Harus ada alternatif produk milik umat Islam yang secara kualitas menyamai kualitas produk yahudi, juga harganya bersaing dengan harga produk yahudi, serta ketersediaannya di pasaran pun mudah didapat.

Sebab bila tidak ada alternatif penggantinya, atau ada tapi kualitasnya rendah, atau harganya tidak terjangkau, atau tidak tersedia di pasaran yang mudah dijangkau konsumen, seruan ini menjadi mentah dengan sendirinya.

Apakah di negeri kita ini sudah ada produk alternatif pengganti yang seperti itu atau belum, tentunya harus dijadikan bahan pertimbangan masak oleh para ulama, terutama ulama di negeri kita.

Sebab bisa jadi keadaan pasar di negeri arab berbeda dengan keadaan pasar di negeri kita. Untuk itu perlu ada penelitian yang relevan.

Sebagai ilustrasi saja, seorang mantan petinggi Pertamina kemarin bercerita kepada saya bahwa kira-kira 70an % BBM di negeri kita adalah produk dari perusahaan asing yang nota bene juga milik yahudi. Pertamina konon hanya memproduksi 30-an% nya saja dari total produksi minyak kita yang tidak sampai 1 juta barrel per hari. Jadi dari Rp.5.000 bensin yang kita isikan ke tanki mobil kita, 70%nya adalah produk perusahaan minyak asing, memang ada perusahaan Malaysia, tapi yang lebih dominan adalah perusahaan yahudi. Jadi pukul rata, separuh BBM kita itu adalah produk yahudi.

How about that?

Apakah kita akan haramkan juga hukum naik mobil, motor, angkot, ojek dan seterusnya? Mengingat bensinya itu separuhnya adalah produk perusahaan yahudi juga kan? Itu kan mirip dengan restoran fastfood yang berpola waralaba dari induknya yang yahudi itu. Kalau dibilang haram makan di fastfood chicken-chicken itu karena sebagian dari keuntungannya milik perusahaan yahudi, seharusnya haram juga dong BBM kita, karena separuhnya diproduksi oleh perusahaan yahudi. Ya nggak?

Dan logika ini kalau kita teruskan, masih panjang. Misalnya, kenapa kita tidak ikut mengharamkan listrik PLN di negeri ini? Bukankah PLN kita juga pakai BBM yang nota bene BBM itu separuhnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yahudi juga?

Satu lagi yang lebih penting, bukankah negara kita ini bisa meneruskan hidupnya yang kembang kempis ini dengan uang hutang yang diberi digelontorkan oleh lembaga keuangan international semacam World Bank, IMF dan saudara-saudaranya? Siapakah mereka? Bukankah mereka yahudi? Lalu kenapa tidak kita haramkan APBN kita? Kenapa tidak kita haramkan gaji para PNS itu karena sebagiannya adalah uang 'pinjaman' milik yahudi? Terus, semua pinjaman itu pakai bunga pula. Berlipat-lipatlah keharamannya. Logikanya seharusnya begitu kan?

Sekarang pertanyaannya, kenapa yang haram hanya fastfoodnya saja, kenapa BBM, PLN dan APBN kita tidak haram, ya? Terus bagaimana dengan prosessor yang terbenam di komputer yang sedang anda gunakan ini? Buatan siapakah? Software Windows dan Officenya, buatan siapa ya? Kenal Bill Gates kan? Siapa ya dia? Yang pasti bukan orang Citayem tetangganya Haji Bakrun tukang soto yang kebonnya lebar itu.

Glek, ya silahkan telan ludah berkali-kali, tapi jangan tersenyum kecut begitu. Ya, itulah landscape asli posisi dan keadaan kita bangsa Indonesia Raya merdeka-merdeka ini.

Disitulah pentingnya kita duduk bareng dan mengupas masalah ini bersama-sama. Kira-kira startegi boikot ini efektif apa tidak kalau kita terapkan di Indonesia? Ini perlu dijawab bersama-sama. Agar jangan kita merasa paling benar sendiri lalu main kecam semua muslim yang lagi asik makan di fasfood. Jangan-jangan keselek tuh, tidak bisa menelan.

3. Harus ada institusi resmi semacam MUI yang bertugas memberi penjelasan tentang fakta-fakta seberapa besar peranan sumbangan perusahaan milik yahudi itu telah berhasil membantai ribuan nyawa umat manusia.

Sebab penjelasan inilah yang akan menggerakkan hati umat Islam. Misalnya, ketika terjadi pembantaian umat Islam di Bosnia oleh Serbia awal tahun 90-an, umat Islam se-Indonesia untuk pertama kalinya kompak membela dan langsung mengumpulkan dana solidaritas.

Tapi bila fatwa itu hanya disampaikan dari mulut ke mulut, atau lewat milis, atau lewat forum-forum terbatas, maka pengaruhnya pun akan sangat terbatas sekali. Bukan berarti kita menafikan usaha atau mau mengendorkan semangat berapi-api. Kita sangat menghargai sungguh-sungguh mereka yang sudah berinisiatif, namun nampaknya suatu amal akan lebih sempurna bila dilakukan secara berjamaah, tidak sendiri-sendiri.

Rasanya tanpa tiga hal di atas, seruan dan fatwa itu akan mengalami penggembosan dari dalam tubuh umat Islam sendiri.Upaya mulia para ulama serta alternatif yang mereka tawarkan akan berjalan di tempat.

Yang namanya pemboikotan seharusnya memerlukan syarat mutlak, yaitu kekompakan. Apalah artinya pemboikotan kalau yang melakukan hanya satu dua orang saja, sementara selebihnya acuh tak acuh saja.

Hal-hal teknis seperti ini barangkali perlu lebih diperhatikan, agar pekerjaan kita berjalan secara itqan (sempurna).

"Kriiiing...kriiingg. ... Halo umat Islam Indonesia, apa kabar? Wah lagi pada ngapain nih? Sibuk ya? Apa? Pilkada? Oh Pemilu? Oh pilih capresnya siapa? Oh iya iya.... Hmm...Ya udah sampai ketemu ya...". Tuut...tuuut...tuuuuttt. Crek.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

No comments: